Status Air Yang Berubah Sifatnya
Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait status air yang berubah sifatnya. Semoga pembahasan yang singkat ini bisa bermanfaat untuk kita semua.
Hukum asal air baik yang turun dari langit atau keluar dari bumi atau semisalnya adalah suci dan mensucikan[1. Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 23]. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci” (QS. Al Furqan: 48).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit agar kalian bisa bersuci dengannya” (QS. Al Anfal: 11).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang laut:
هو الطهور ماؤه, الحل ميتتة
“Laut itu suci airnya dan halal bangkai (binatang yang ada di dalam)-nya” (HR. Ibnu Majah 309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Maka jelas dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal air adalah suci dan mensucikan. Maka dalam hal ini dua hal yang patut diperhatikan,
- Air tidak keluar dari kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali ada dalilnya
- Air tidak keluar dari kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali telah keluar dari kemutlakannya, atau dengan kata lain jika air tersebut sudah tidak disebut sebagai “air” secara mutlak, namun disebut dengan “air …”. Misalnya: “air kopi”, “air teh”, “air gula”, dll.
Status air yang berubah sifatnya
Air keluar dari sifat mutlaknya jika berubah atau tercampur dengan zat lain. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di[2. Dalam Irsyad Ulil Bashair, 8-9] merinci hukumnya adalah sebagai berikut,
Pertama: jika air tercampur dengan zat lain yang merupakan najis hingga air tersebut berubah warna, atau bau atau rasanya, maka air tersebut menjadi najis. Ulama ijma akan hal ini.
Kedua: jika air tersebut berubah karena telah menempati suatu tempat dalam waktu lama, atau karena saluran yang dilaluinya, atau ada ada suatu zat yang sulit menghindarkan ia dari air, seperti tanah, pasir, debu yang ada di saluran-saluran air, maka air tetap suci.
Ketiga: jika air tercampur dengan zat yang tidak bisa larut dalam air seperti lemak dan minyak, sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh, namun pendapat yang tepat ia tetap suci tanpa karahah (makruh). Karena hukum asal air adalah suci dan tidak ada dalil yang memindahkan statusnya dari suci.
Keempat: jika air tercampur dengan zat lain yang suci. Jika zat lain tersebut jumlahnya sedikit, maka ia tetap suci dan mensucikan. Jika zat lain tersebut jumlahnya banyak, ulama bersepakat ia suci namun mereka berselisih pendapat apakah air tersebut mensucikan (bisa digunakan untuk tharahah).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di merajihkan bahwa air tersebut tetap dapat mensucikan. Beliau mengatakan: “Para ulama berselisih pendapat mengenai air yang tercampur dengan zat yang suci yang digunakan untuk menghilangkan hadats dan semisalnya, apakah ia tetap suci dan mensucikan? Adapun kami ber-istishab (berpegang pada hukum asal) dalam hal ini, sebagaimana pendapat yang shahih dalam hal ini. Berdasarkan dalil (istishab) yang banyak yang tidak bisa dipaparkan di sini. Jika dikatakan bahwa air tersebut statusnya antara suci dan najis sehingga ia suci namun tidak mensucikan, beralasan dengan pendapat ini adalah alasan yang sangat lemah. Karena menetapkan jenis air baru yang tidak suci dan tidak pula najis adalah perkara yang ta’ummu bihil balwa (kebutuhannya luas) dan sangat mendesak untuk didatangkan penjelasan. Jika hal tersebut dibenarkan, maka tentu syariat akan menjelaskannya dengan penjelasan yang lurus untuk memutus perselisihan. Maka jelaslah bahwa pendapat yang tepat adalah bahwa air hanya dibagi dua: suci dan najis”[3. Irsyad Ulil Bashair, 9].
Namun hal itu jika zat lain yang mencampuri air tidak mendominasi air hingga keluar dari kemutlakannya. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “Jika air berubah salah satu sifatnya (warna, bau dan rasa) dengan percampuran zat lain yang suci, seperti daun, kayu, sabun, pohon isynan, daun bidara, atau benda lain yang suci, yang tidak sampai mendominasi air, maka sebagian ulama memiliki rincian dan terdapat khilaf. Yang tepat, air tersebut tetap suci, boleh menggunakannya untuk bersuci dari hadats dan bersuci dari najis”[4. Al Mulakhash Al Fiqhi, 18-19].
Ringkasnya, yang shahih, secara umum air hanya ada dua jenis: suci dan najis. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:
“Air itu terdiri dari dua macam:
Pertama: air suci yang bisa digunakan untuk bersuci, baik ia masih dalam keadaan aslinya atau sudah tercampur dengan zat lain yang suci namun tidak sampai mendominasi air hingga ia tidak lagi dinamai ‘air’ secara mutlak.
Kedua: air najis yang tidak boleh digunakan, dan tidak bisa untuk bersuci dari hadats dan najis. Yaitu air yang salah satu sifatnya berubah karena tercampur dengan zat lain yang najis”[5. Al Mulakhash Al Fiqhi, 19].
Wabillahi at taufiq was sadaad.
Baca Juga:
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
🔍 Hadits Larangan Meminta Minta, Do`a Sesudah Sholat, Kencing Berdiri Dalam Islam, Hukum Solat Berjamaah, Alquran Surat Al Mulk
Artikel asli: https://muslim.or.id/28901-status-air-yang-berubah-sifatnya.html